Anggap saja catatan pendek ini sebagai surat cinta. Seperti yang pernah dikirimkan Sukab kepada Alina dalam cerpen “Sepotong Senja Buat Pacarku” karya Seno Gumira Ajidarma. Atau mungkin seperti yang ditulis Franz Kafka kepada Milena Jesenska dalam “Letters to Milena.” Anggap saja demikian. Bayangkan saja catatan pendek ini sebagai surat cinta yang ditujukan kepada seseorang lain yang tinggal dalam dirimu–yang barangkali sedang menunggu dan terkoyak-koyak. Anggap saja demikian.
1/ Masa Muda
Masa muda—dalam satu pertimbangan yang terukur—adalah satu masa kehidupan terbaik yang pernah dicapai umat manusia; sebuah kemasyhuran tiada tara. Tanpa tanding. Sungguh, tiada tandingnya.
Tapi ia punya antitesis. Sebab ia menjadi satu wujud abstrak yang paling angkuh di alam manusia. Ia hanya mesti dinikmati dalam satu masa, tak boleh lebih, tak bisa dibeli. Masa muda seperti punya satu kuasa penuh bahwa; “Yang tua dan belum cukup umur; dilarang ‘tuk masuk!”
Maka, salam untukmu: wahai para darah agung yang masih menetap di bawah pondok masa muda, dari saya—seorang yang dulu pernah menikmati masa kecil—yang kini sedang mencari wilayah kehidupan yang tepat.
Saya pun tidak ingin menjadi tokoh romantik yang tak ber—rumah dan tak berwilayah dalam tulisan ini–juga kehidupan. Sebab satu keyakinan telah ditawarkan kepada saya; bahwa hanya di depan Tuhan–lah, manusia tak punya wilayah. Dan dalam tulisan ini—yang jauh lebih muda ketimbang dongeng dan kitab suci—saya temukan satu kemuliaan, bahwa; tubuh dan jiwa kita adalah penyelamat. Barangkali, itulah satu wilayah kehidupan yang mesti kita datangi bersama—sama.
2/ Kesunyian
Ketika saya gubah tulisan ini pada laptop kecil yang bermerek Lenovo, nuansa teras rumah dalam keadaan sunyi. Atau meminjam Chairil; tak ada sedu sedan. Kesunyian adalah satu jenis kebahagian yang paling melarat—saya kira. Sebab di sana manusia yang berusia muda seringkali tak lagi mudah menemukan kehidupan.
Sunyi tak pernah tiba sendirian. Ia punya antitesis; bunyi. Yang jelas, sudah berlalu zaman ketika manusia dianjurkan untuk berkelana ke dunia sepi. Kini dunia semakin sesak, penuh bunyi. Kita dijajah hal—hal yang mendesak. Pada masa ini; sunyi adalah bentuk yang plural. Bahkan ia telah menetap pada tempat paling jauh; kalbu. Amir Hamzah merangkumnya dengan baik;
Sunyi itu duka
Sunyi lampus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Kesunyian dan orang muda; dua tema yang menjadi sinopsis kehidupan manusia modern ke depannya. Bahkan Pope Leo menekankan hal serupa dalam pesannya kepada orang muda di Chicago pada 14 Juni lalu (Vatikan News). Pope Leo mengajak kita untuk menjadi “Beacon of Hope”—mercusuar harapan. Juga dalam dunia yang terbagi—bagi ini, sang Pontiff mengajak kita untuk menjadi agent of change. Ia menyadari bahwa kemajuan teknologi, pergerakan masa kehidupan yang selalu datang lebih cepat dari antisipasi, dan segala tawaran peradaban post—truth ini, akan bermuara kepada dua hal tadi: kesunyian (loneliness) dan orang muda.
Tapi kesunyian dan orang muda adalah dua hal dasar yang berbeda. Itu pasti. Keduanya adalah produk kehidupan. Kesunyian adalah ilusi sedangkan orang muda datang sebagai solusi. Atau jika diselaraskan ke dalam tutur anak-anak muda Algonz Cijantung maka slogannya berubah menjadi: OMK adalah solusi. Slogan ini rasanya punya daya getarnya sendiri.
Apakah menjadi solusi dari kesunyian juga adalah salah satu persoalan yang mesti dipertimbangkan? Sebelum menjawab pertanyaan ini, rasa-rasanya perlu saya terangkan maksud dari kesunyian ini. Jadi, kesunyian yang dicondongkan dalam tulisan ini adalah tentang berkurangnya anak muda dalam dalam mengambil alih tugas-tugas dalam lingkup gereja (dan masyarakat). Karena sebaliknya, seorang anak muda tak boleh bebas. Ia mesti dijamah dan diarahkan oleh sebuah masa—dan terkadang harus dijungkirbalikan. Itu resiko. Itu resep dasar solusi. Itulah kita. Seperti itulah sinopsis masa muda yang berkesan dan berdaulat penuh.
3. OMK adalah Solusi
Menurut saya—dalam satu ukuran tertentu—tak ada yang lebih romantis dari melihat orang muda Katolik berbondong-bondong berpacaran dengan tugas-tugas gereja. Sebagai misal: bermadah dari panti koor, membaca surat-surat Paulus dari mimbar, menyanyikan syair-syair mazmur, menjadi putra dan putri altar, atau tugas-tugas lainnya.
Orang muda katolik menurut saya punya daya tarik yang bagus dalam memikat mata hati sesama kaum muda. OMK, dengan segala kemasyuran jiwanya, sungguh pandai membangunkan pinggang-pinggang muda lain yang mati (sebelum masanya). Barangkali ada yang bertanya mengapa mesti pinggang? Well, itulah salah satu daging tubuh yang paling dekat pada kaki-kaki kita. Ini perihal yang paling saya sukai dari OMK: pinggang—pinggang yang hidup, yang pandai menerjemahkan gerak—gerak pinggang lain yang lesu.
Kita kembali kepada slogan: OMK adalah Solusi. Pernyataan ini tidak lahir dari ruang kosong. Ia tiba dari kandungan yang mungkin punya satu, atau dua atau bahkan banyak benih-benih persoalan. Itulah barangkali satu sebabnya kita dijadikan pawang yang menyediakan berbagai macam solusi dan sudah sepatutnya kita berbangga hati telah dipercayakan sebagai solusi.
Memang sudah saatnya, OMK mesti berada dalam satu gerbong bersama solusi. Kita bukan pemotong jalan. Kita bagian dari perjalanan panjang gereja, dimana Tuhan hadir, memakai kata Jankêlêvitch, dalam keajaiban tiap saat, dalam musim semi dan kelahiran kembali yang terus menerus. Itu yang saya bayangkan ketika orang-orang muda lebih berani untuk ber—PDKT dengan tugas-tugas gereja. Sebab terkadang, romansa tidak harus selalu tentang lawan jenis.
Akhir—akhir ini, saya rindu halaman gereja yang ramai oleh tawa anak—anak dan kelakar orang muda di hari Minggu. Saya kangen suara—suara yang keluar dari pita suara yang masih muda; manusia yang akan terus memihak dunia baru dengan cara—cara lama, yang masih percaya bahwa bernyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali, yang masih berpegang teguh pada ajaran gereja, yang masih ingin memikul salib kehidupan bersama Yesus.
Saya tidak ingin kita menjaga jarak, menjauh; terkotak—kotak dan terkoyak—koyak. Jangan sampai toko dan mall membikin kita terbuang jauh dari halaman gereja.
4. Dunia Baru & Gereja
Dunia dengan gerbong—gerbong kemajuan memang menggoda, seksi, mencemaskan dan tak bisa diabaikan. Kekhawatiran ini juga pernah diumpamakan sebagai ‘laut’ oleh Takdir Alisjahbana. ‘Laut’: dimana generasi muda meninggalkan dunia tradisi yang tertata rapi statis ibarat “tasik yang tenang tiada beriak”. Katanya, kita cenderung bergerak “menuju ke laut”, ke dunia lepas, dengan segala resikonya. Kekhawatiran ini tepat sasaran. Bermuara pada teluk yang penuh ambigu dan ilusi.
Menjadi muda memang penuh ambigu dan ilusi. Tapi tak mesti menjadi asing. Jangan sampai—meminjam Camus—kita menjadi orang—orang asing yang terasing dari hal—hal sederhana dan gereja. Janganlah kita berselancar terlampau jauh ke dalam ‘laut’ yang lepas, dan terlempar terlampau jauh dari garis pantai. Sebab kita tahu, gereja punya luka hati dan rasa cemas yang sah. Begitupun orang tua, mereka tidak ingin anak—anak mudanya terbuang terlalu jauh ke dalam alienasi yang berkepanjangan.
Barangkali atas dasar kekhawatiran inilah OMK ditimbang dan dirajut menjadi solusi yang pantas untuk keberlangsungan gereja. Kita mesti menjadi suara yang lantang. Suara pembawa pesan kehidupan, sebab meminjam Goenawan Mohamad, betapa berharganya suara yang tumbuh dari tubuh yang ingin hidup. Kita orang—orang muda adalah “tasik yang tenang tiada beriak”. Jika memang ingin bergerak ke ‘laut’, ke dunia yang lepas, maka jadilah seperti Petrus yang menjadi penjala manusia yang penuh compassion, yang setia pada perkara—perkara kecil.
Maka, bertolaklah lebih dalam; Duc in altum. Sebab ada bagian dari masa kini yang harus diselamatkan, karena hari ini selalu berjalan masuk ke hari depan. Ke hari depanmu, ke hari depan gereja, ke hari depan anak—anak kita nanti.
Kita, manusia muda Katolik mesti menjadi subyek yang mampu menggerakan predikat, objek, pelengkap—penyerta dan segala tanda baca kehidupan yang mengikutinya. Tugas kita sekarang selain menata kehidupan pribadi adalah menyediakan kepastian kehidupan gereja di masa mendatang.
Dalam bahasa yang lebih poetik, Sastrowardoyo menulis: “Kita mesti mampu menerjemahkan gerak daun yang bergantung di ranting yang letih.” Penggalan sajak ini mengajak kita untuk pandai menerjemahkan keletihan gereja di masa ini. “Gerak daun yang bergantung pada ranting yang letih” adalah gambaran poetik akan kelesuan semangat kepemudaan di lingkungan gereja. Tapi kita belum begitu telat, kita masih punya banyak waktu. Kita masih punya Yesus. Ia pokok anggur dan kitalah ranting —rantingnya.
5. Orang Muda Algonz
Dalam suatu pertimbangan dunia fiksi, ada semacam pertengkaran primitif, purba, abadi, agung dan tak terselesaikan antara hujan dan romansa. Hujan melahirkan kenangan, menginisiasi kerinduan, dan mereduksi jarak. Sedangkan pada ukuran lain, romansa datang sebagai antitesis: tak suka jarak, tak ingin hujan. Ini hal klasik. Sapardi pernah menulisnya dalam bentuk puisi; Hujan Bulan Juni.
Kita orang-orang muda Algonz adalah bagian dari pertimbangan di atas. Hujan bisa diartikan sebagai satu getaran keinginan yang tulus dalam mengemban tugas gereja, tapi di lain sisi romansa kehidupan modern, dengan segala hiruk pikuk dan kerumitannya, datang sebagai antitesisnya. Ini bukan lagi hanya pertengkaran fiksi. Ini adalah pengalaman, ini yang terjadi. Ini juga hal klasik. Tak butuh puisi untuk menjelaskannya.
Ini bukan ending cerita yang rampung. Ini hanyalah satu gambaran yang rumpang. Beberapa keberhasilan OMK Algonz dalam mengemban tugas gereja mesti juga diapresiasi. Salah satunya adalah Teater musikal Kisah Sengsara Tuhan Yesus, yang dipentaskan April lalu di Gereja Algonz. Atau hal-hal lain: Gonzaga Youth Fellowship, keteguhan anak—anak misdinar dalam mengemban tugas, perayaan Ekaristi Kaum Muda dan Ziarek, keberhasilan dalam FFA melalui Komsos, Bincang Cerdas OMK, kelompok Koor OMK, dan kegiatan lain—lainnya.
Keberhasilan—keberhasilan ini mesti menjadi konstruksi motivasi yang adiktif, yang menggoda kita ‘tuk terus melahirkan bayi—bayi keberhasilan baru di masa—masa mendatang. Tak juga perlu terburu—buru, Tuhan tidak pernah mengejar niat dan tindak laku baik kita. Jika memang mesti terjadi, maka terjadilah.
Maka hal yang perlu dipertimbangkan ke depan adalah bagaimana kita mempertahankan keberhasilan—keberhasilan ini agar terus dilestarikan dan bahkan ditingkatkan. OMK adalah Solusi. Itu slogan kita. Dan bagaimanapun itu, di masa mendatang kita orang-orang muda Algonz mesti lebih merapat dan mendekat dalam aktivitas gereja. Ada kenikmatan romansa dalam hal—hal yang rapat dan dekat. Juga tak akan kau temukan ratapan dan kertak gigi di dalamnya.
Masa muda—dalam satu pertimbangan yang terukur—adalah satu masa kehidupan terbaik yang pernah dicapai umat manusia; sebuah kemasyhuran tiada tara. Tanpa tanding. Sungguh, tiada tandingnya. Saya ingatkan kembali, takutnya sudah lupa.
6. Ucapan Terima Kasih
Atas izin Tuhan, kami ucapkan terima kasih; kepada yang terkasih, OMK wilayah st. Thomas dan para pemusik yang sudah memeriahkan; menerjemahkan cinta Tuhan dalam bentuk suara dan nyanyian merdu pada perayaan Ekaristi Kaum Muda (EKM) kali ini. Juga kepada seluruh OMK Algonz dan umat paroki Cijantung; terima kasih atas kehadiran serta partisipasinya. Tetap semangat dan selalu berkuasa atas diri sendiri.
Tuhan sertamu selalu!
Ogilvie Daut (OMK WILAYAH VI)