Loading...
Gerbong Kereta Maria

Gerbong Kereta Maria

  • 09 Sep 2025
  • Renungan

1/ Suara Sepur Kereta Maria

Dalam khazanah sinema, ada sebuah legenda tentang kepanikan penonton yang disebabkan oleh kereta. Diceritakan, ketika penayangan “Arrivée d'un Train en Gare de la Ciotat” (1895), film dokumenter berdurasi 50 detik garapan Auguste dan Louis Lumière, penonton menjerit histeris didorong oleh ketakutan bahwa kereta berjalan yang mereka saksikan akan menerobos layar kaca. Kekacauan terasa sungguh autentik di sana. Maxim Gorky, dalam esai bertajuk “Last Night I was in the Kingdom of Shadows” bahkan menulis: “Seolah kereta itu akan meluncur ke dalam kegelapan di mana Anda duduk, mengubah Anda menjadi karung robek dipenuhi koyakkan daging dan pecahan tulang...”

Impresi khaotik yang sama juga hadir tatkala kita menyimak perjalanan awal gerbong kereta Maria dan Yoseph menuju Bethlehem. Maria dengan kandungan tuanya. Yoseph dengan intensitas keraguannya yang bercampur aduk.

Perjalanan panjang itu rupanya sebagai satu usaha untuk memenuhi kewajiban sensus penduduk yang diperintahkan oleh Kaisar Agustus—kekaisaran Romawi. Di sini, kita semacam disuguhkan dengan sebuah epos yang apik, dengan sepi sebagai bunyi, membentang dihadapan Yoseph. Ia mempertimbangkan posisinya di hadapan tatanan sosial masyarakat pada saat itu, yang begitu kental social control—nya. Dalam pertimbangan yang utuh, tampaknya Ia ragu memperistri Maria, gadis yang belum pernah disentuhnya, yang kini sedang mengandung. Tapi, Yoseph tetap teguh. Ia telah diperkuat oleh satu entitas yang lebih tinggi: roh kudus. 

Jika dalam “Arrivée d'un Train en Gare de la Ciotat” kereta mewedar ancaman fisik pada penonton, maka dalam perjalanan ini gerbong kereta Maria justru berbalik arah, ia menghujam dimensi psikis yang paling dalam, di mana atmosfer kesunyian segara melingkupi seluruh pertimbangan Yoseph. Tapi keutuhan Maria sebagai perempuan pilihan Allah, juga memperkuat telekung cinta sang pandai kayu itu. 

Patut kita catat lebih awal, suara sepur adalah entitas yang menemani hari—hari menuju kedatangan Yesus. Suatu keadaan yang masih abu—abu dalam gerbong kereta Maria. Seorang gadis muda yang teguh, yang setia untuk tunduk kepada rancangan yang lebih tinggi darinya.

Kereta Maria memang tidak tinggal di tepi rel. Kereta—Nya justru melipir ke arah yang lebih jauh—sebuah kandang sederhana. Kita semua paham bahwa lalu—lalang kereta adalah perkara rutinitas, ketibaan—keberangkatan telah terjadwal secara pasti, dan sudah barang tentu kita pun telah akrab dengan mode keteraturan tersebut. Tapi, dalam lakon ini, suasana sambur—limbur dibikin abstain dalam lintasan lokomotif. Sehingga gerbong kereta Maria terperangkap dalam kesunyian begitu rupa, yang menyadari ketiadaan suatu bentuk kepastian. 

Kereta memang acap paralel dengan modernitas, dengan pembangunan. Seperti terungkap dalam baris-baris sajak Walt Hitman, “To a Locomotive in Winter”, bahwa kereta ialah; tipe modern—lambang gerak/penuh kuasa—denyut nadi benua. Tak bisa dihindarkan lagi, dalam lakon ini gerbong kereta Maria mengambil ruang yang cukup mencolok. Ia bukan lakon satu babak. Ia melintas sepanjang sejarah, dalam durasi yang merentang selamanya.

Sebuah ukuran keindahan yang amat halus segera kita tangkap: kerajaan surga telah memberikan kita Juru Selamat melalui Maria, yang datang dari keakuratan nubuat masa lalu. Fakta ini—dalam ukuran historis—membuat kereta Maria harus berangkat ke Bethlehem, berakrab-akrab dengan suara sepur dan kesepian, untuk membayar kewajibannya kepada bangsanya, Kekaisaran Romawi. Di sini, kita dapat melepaskan satu kesimpulan sederhana, bahwa Maria, yang ketika itu sebagai Bunda Tuhan, tak pernah lupa akan tugas kodrati kepada bangsanya. Itu sekiranya salah satu bentuk pesan yang mesti kita timbah dari Maria. 

 

2/ Maria: Ikon Kesetiaan

Seluruh detail dalam epos gerbong kereta Maria ini tampil dalam bentuk yang paling sederhana: mengeksplorasi suasana sunyi—sepi pada taraf yang nyaris paripurna, di samping juga menjadi indeks pada pelbagai narasi dan wacana tentang kesetiaan.

Ada yang sedikit aneh dengan kesetiaan. Ia datang tanpa dipanggil, seperti satu tumpukan hujan di musim gersang. Maria—bukan gadis yang kita kenal di jalan—jalan Jakarta, tetapi Maria dari Nazaret, gadis muda yang ‘kereta’ hidupnya berubah haluan karena satu kabar yang datang dari langit. Tetapi, siapakah yang tak takut ketika surga tiba—tiba mengetuk pintu rumah?

Kesetiaan Maria bukanlah satu ukuran loyalty yang kita baca dalam buku—buku romansa. Bukan pula yang lahir dari janji-janji manis di bawah muka langit. Kesetiaan Maria datang dari pertemuan dengan misteri—sebuah kesetiaan yang tidak meminta penjelasan, tidak pula menuntut kepastian. “Jadilah padaku menurut perkataanmu,” tukasnya. Entah mengapa, ada satu keindahan tersendiri dalam ketundukan yang patuh. Begitulah kiranya satu pesan lain dari simplisitas Maria.

Camus—fisuf Prancis—pernah menulis bahwa kita harus membayangkan Sisyphus bahagia. Maria mungkin adalah antitesis Sisyphus—Ia tidak mendorong batu ke atas gunung hanya untuk melihatnya jatuh lagi. Sebaliknya, Ia menerima beban yang akan mengubahnya menjadi “Bunda Duka” tanpa mengetahui bahwa di ujung jalan menunggunya salib Golgota. Kesetiaannya adalah kesetiaan yang berjalan dalam kegelapan, tetapi tetap percaya bahwa ada cahaya di ujung terowongan.

Ketika Yesus berusia dua belas tahun dan hilang di Bait Allah, Maria mencarinya dengan gelisah. “Mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami?” Itu bunyi pertanyaan seorang ibu yang khawatir, sangat manusiawi. Tetapi kenyataan itu menebarkan kepada kita juga satu pertanyaan yang lebih dalam: mengapa Tuhan sering kali hadir dalam bentuk yang tidak kita duga? Dan Maria menawarkan kita sebuah pertimbangan lain bahwa kesetiaan bukan berarti memiliki semua jawaban, tetapi suatu kondisi utuh di mana kita tetap bertanya sambil terus percaya.

Di pernikahan Kana, Maria berkata kepada para pelayan: “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, lakukanlah.” Kalimat ini seperti puisi yang mengandung kedalaman samudera. Dalam bahasa yang sederhana, Maria mengajarkan rahasia kesetiaan: percaya bahkan ketika kita tidak sepenuhnya mengerti. Air menjadi anggur bukan karena Maria memahami fisika transformasi zat, tetapi karena ia memahami metafisika kepercayaan.

Salib adalah ujian terakhir kesetiaan Maria. Di kaki salib, ia berdiri bersama Yohanes, menyaksikan anaknya mati dalam penderitaan. Tidak ada lagi malaikat yang datang memberi kabar gembira. Tidak ada lagi mukjizat yang menyelamatkan. Hanya kesunyian langit dan tangis yang tebal di pipi. Maria tetap berdiri. Kesetiaan sejati, rupanya, diukur bukan dari kebahagiaan yang dikonsumsi sesaat, tetapi dari kemampuan untuk tetap berdiri ketika dunia jatuh cinta kepada keruntuhan.

Rumi pernah menulis: “Cinta adalah jembatan antara dua jiwa.” Maria menunjukkan bahwa kesetiaan adalah jembatan antara harapan dan realitas, antara iman dan keraguan. Ia adalah bukti bahwa manusia dapat setia kepada misteri tanpa kehilangan entitas kemanusiaannya, dapat tunduk kepada kehendak Ilahi tanpa mesti kehilangan derajatnya sebagai persona yang bebas.

Dalam dunia yang semakin pragmatis, kesetiaan Maria terasa asing. Kita terbiasa dengan kontrak yang jelas, dengan hak dan kewajiban yang tertulis hitam di atas putih. Tetapi kesetiaan Maria tanpa kontrak, kepercayaan tanpa jaminan, amor tanpa syarat. Ia mengajarkan kita bahwa terkadang, keindahan hidup terletak bukan pada apa yang kita mengerti, tetapi pada apa yang berani kita terima.

Hari ini, ketika kita bicara tentang kesetiaan, mungkin kita perlu kembali kepada Maria. Bukan untuk menjadi seperti Dia—karena panggilan setiap orang berbeda—tetapi untuk belajar dari caranya menghadapi ketidakpastian dengan kesetiaan, menghadapi misteri dengan keterbukaan, menghadapi penderitaan dengan keteguhan. Dalam zaman yang penuh dengan jawaban instan dan kepuasan segera, Maria mengingatkan kita bahwa kesetiaan sejati butuh tempo waktu, kesabaran, dan keberanian untuk terus percaya: meski langit membentangkan satu layar yang bisu.

Kesetiaan Maria bukan museum yang kita kunjungi untuk mengagumi masa lalu. Ia adalah mata air yang terus mengalir, mengingatkan kita bahwa di tengah kekeringan zaman ini, masih ada orang-orang yang memilih untuk setia—setia kepada cinta, setia kepada harapan, setia kepada misteri yang lebih besar dari titik pemahaman kita. Dan mungkin, itulah yang paling kita butuhkan hari ini: keberanian untuk setia dalam ketidakpastian, untuk percaya dalam keraguan, untuk mencintai meski dunia seringkali tampak tidak pantas dicintai.

Kesetiaan kepada Allah. Inilah mungkin satu-satunya pesan yang ditawarkan kepada kita. Maria telah menumpahkan kepada kita satu jalan yang pantas menuju kerajaan Allah, maka sudah saatnya kita mengambil sikap yang sama. Marilah masuk ke dalam gerbong kereta—Nya. Telah disediakan bagi kita satu tempat yang layak, tinggal menunggu kapan perhentian selanjutnya ia berhenti kembali. 

 

3/ Ad Jesum per Mariam

Hari ini, 8 September. Kita mengingat dua kelahiran: Maria dalam tanggal, & Yesus melalui Injil Matius. Tapi, ini kali—sepertinya Maria menjadi protagonis utama dalam peringatan ini. Ia diingat sebagai putri September, yang lahir dari ranting—ranting bunga kehidupan. 

Maka berlanjut—lah hari berlalu. Petang perlahan melaju ke arah senja. Gerbang gereja dibuka. Lampu dinyalakan. Orang-orang muda—tua berkumpul. Musik digaungkan. Nyanyian dilemparkan ke langit-langit gereja. Tanda kemenangan Kristus diucapkan. Misa pun dimulai. Dan sekitar dua ribuan tahun yang lalu, barangkali pada tempo waktu yang hampir sama pula, Maria pun lahir ke dunia. 

Kini gerbong Kereta Maria telah tiba. Perhentian terakhirnya: Yesus. Ending dari epos ini tidak menggantung seperti film-film garapan Nolan. Kali ini, telah diketahui sejak semula, bahwa ujungnya adalah Putra Tunggal—Nya. 

Kepenuhan rahmat Allah dalam diri Maria dan martabatnya diperoleh dari perannya sebagai Theotokos—Bunda Allah. Maria adalah Hawa yang baru, juga Tabut Perjanjian Baru. Keberadaan Maria telah dinubuatkan sejak awal mula—setelah kejatuhan Adam dan Hawa.

Jika melalui Hawa, manusia memperoleh maut, maka melalui Maria: manusia memperoleh hidup kekal di dalam Kristus yang dilahirkannya. Ia membawa identitas baru bagi perempuan. Dan dalam dongeng patriarki yang lebih tua dari kitab suci, perempuan—dalam satu pertimbangan yang terukur—adalah penyelamat. Oleh sebab itu, sebagai Hawa Baru dan Ibu Tuhan, maka Maria dikuduskan Allah. Dikuduskan: bebas dari noda dosa asal. Itulah sebabnya Ia tidak berdosa dan tetap perawan sepanjang hidupnya 

Maka St. Yohanes Vianney dengan utuh mengajak kita untuk “Hidup seperti Perawan Maria yang Terberkati: mengasihi Tuhan saja, menginginkan Tuhan saja, dan berusaha menyenangkan Tuhan saja dalam segala hal yang kita lakukan.”

Ini kali, Persona Maria membentangkan ke hadapan kita satu pertanyaan baru: “Bagaimana tabut Tuhan dapat sampai kepada kita?” Pendek kata, pertanyaan ini mesti kita telusuri jawabannya—bersama.

Dan, sebelum hari ini berakhir, patutlah saya katakan: Selamat Ulang Tahun Ibunda, Maria. Juga, teruntuk Maria lainnya —bersukacitalah.

 

Jakarta, 8 September 2025

Ogilvie Daut

Hallo, ada yang bisa dibantu?