Loading...
Mewartakan Sukacita Injil: Menjadi Missionaris Harapan di Tengah Dunia yang Berziarah

Mewartakan Sukacita Injil: Menjadi Missionaris Harapan di Tengah Dunia yang Berziarah

  • 15 Mei 2025
  • Renungan

Catatan: artikel ini menyoroti panggilan setiap orang Kristiani untuk mewartakan sukacita Injil, terutama di tengah realitas dunia yang terluka. Dengan inspirasi dari kharisma St. Alfonsus, prioritas pastoral Redemptoris, serta pesan Paus Fransiskus dan Paus Leo XIV, artikel ini mengajak Gereja menjadi pewarta harapan dan belas kasih bagi kaum miskin, tersingkir, dan alam ciptaan. Dalam konteks Indonesia, hal ini mencakup keberanian melawan korupsi, memperjuangkan keadilan, serta menjadi Gereja yang terbuka dan misioner. Setiap orang diundang menjadi missionaris harapan, mengikuti jejak Sang Penebus dalam kehidupan sehari-hari.

 

******

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang semakin kompleks, ditandai dengan berbagai krisis kemanusiaan, kerusakan ekologis, korupsi yang mengakar, serta marginalisasi kaum kecil, Gereja dipanggil untuk kembali pada misinya yang paling mendasar: mewartakan Injil sebagai kabar sukacita. Pewartaan ini bukanlah tugas eksklusif para imam atau religius, melainkan panggilan hidup setiap orang Kristiani. Kita semua adalah utusan, dan kita semua adalah misionaris di tengah dunia ini.

Yesus sendiri datang bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai seorang yang berjalan bersama orang-orang kecil, menyembuhkan yang luka, mengangkat yang terpinggirkan, dan menghadirkan wajah Allah yang berbelaskasih. Dan dalam semangat inilah Gereja, terutama melalui kongregasi seperti Redemptoris, diundang untuk menjadi terang dan harapan — Missionaries of Hope in the Footsteps of the Redeemer.

 

I. Pewartaan Injil sebagai Panggilan Sehari-hari

Pewartaan Injil bukan hanya berbicara di mimbar atau mengajar doktrin. Mewartakan Injil adalah hidup dengan penuh cinta, menghadirkan pengharapan dalam relasi, kejujuran dalam pelayanan, dan keberanian untuk berpihak kepada yang miskin. Dalam Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus menekankan bahwa “sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang berjumpa dengan Yesus.”

Maka, panggilan untuk mewartakan Injil adalah panggilan untuk menjadi sukacita — dalam cara kita hidup, bekerja, berbicara, dan mencintai. Kita diundang menjadi pribadi yang mencerminkan wajah Allah yang murah hati di lingkungan keluarga, tempat kerja, dan dalam keterlibatan sosial-politik.

 

II. Redemptoris: Misionaris Harapan di Tengah Dunia yang Terluka

Para Redemptoris, mengikuti teladan St. Alfonsus Maria de Liguori, telah lama menempatkan kaum miskin dan terlantar sebagai pusat misi pastoral mereka. Dalam konteks dunia saat ini, Kongregasi Redemptoris secara global menetapkan enam prioritas pastoral untuk sexennium 2023–2028:

1. Kaum miskin dan terlantar secara material

2. Kerjasama dengan kaum awam

3. Perempuan dan anak

4. Kaum buruh migran

5. Orang muda

6. Kepedulian terhadap alam semesta

Semua ini menunjuk pada satu semangat utama: menghadirkan Allah yang berbelaskasih. Dalam semangat St. Alfonsus, Allah bukanlah Hakim yang menghakimi dari kejauhan, tetapi Bapa yang penuh belas kasih yang ingin dekat dengan umat-Nya — terutama mereka yang terbuang, terluka, dan tersingkir.

Menjadi Missionary of Hope berarti bukan hanya memberi bantuan, tetapi juga menjadi suara kenabian yang menggugat ketidakadilan. Di Indonesia, di mana korupsi masih menjadi tantangan serius, dan kaum kecil kerap tak didengar, kita dipanggil untuk menjadi saksi yang berani, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan ketulusan dan cinta.

 

III. Gagasan Paus Leo XIV: Gereja yang Terbuka dan Misioner

Dalam pidato pertamanya, Paus Leo XIV menekankan pentingnya berjalan bersama dalam kesatuan, mencari kedamaian dan keadilan, dan menjadi pewarta kabar baik tanpa rasa takut. Ia mengutip St. Agustinus: “Bersama kalian aku adalah seorang Kristen, demi kalian aku adalah seorang uskup.”

Pernyataan ini sangat kuat. Ia menegaskan bahwa sebelum menjadi pemimpin, ia terlebih dahulu adalah saudara dalam iman. Dan sebagai pemimpin, tugasnya adalah melayani. Ia mengundang kita semua untuk menjadi Gereja yang misioner, yang membangun hubungan, membuka ruang dialog, dan menyambut siapa pun dengan tangan terbuka.

Kata-katanya mengingatkan kita bahwa Gereja tidak boleh eksklusif, tertutup, atau hanya sibuk dengan urusannya sendiri. Gereja harus seperti lapangan terbuka — menjadi tempat di mana siapa pun, dari latar belakang apa pun, dapat merasakan kasih Allah yang hadir.

 

IV. Kharisma Alfonsus dan Wajah Allah yang Berbelaskasih

St. Alfonsus menempatkan belas kasih Allah sebagai pusat segala karya pastoral. Baginya, pertobatan bukanlah hasil ketakutan akan hukuman, tetapi buah dari pengalaman kasih Allah yang tanpa syarat. Ia mewartakan Allah yang mendekat, yang mencari yang hilang, dan yang merangkul mereka yang tertolak oleh masyarakat.

Dalam dunia yang mudah menghakimi dan menghukum, pendekatan Alfonsus ini sangat relevan. Banyak orang menjauh dari Gereja bukan karena mereka tidak percaya, tetapi karena mereka merasa tak layak, merasa dihakimi. Maka tugas Gereja adalah menjadi tempat rahmat — di mana orang dapat kembali, merasa diterima, dan mengalami kasih yang menyelamatkan.

Pertobatan dan pengampunan menjadi jalan menuju keselamatan, bukan karena kita sempurna, tetapi karena Allah setia dan tidak pernah lelah menanti kita pulang.

 

V. Menjadi Gereja yang Relevan bagi Indonesia

Konteks Indonesia saat ini penuh dengan tantangan pastoral. Ketimpangan sosial dan politik, korupsi, perusakan lingkungan, intoleransi, dan marginalisasi kelompok rentan menjadi kenyataan sehari-hari. Dalam situasi ini, Gereja harus bertanya: apakah kehadiran kita masih relevan? Apakah pewartaan kita menjawab keprihatinan konkret umat?

Kita diundang untuk keluar dari kenyamanan, seperti kata Paus Fransiskus, dan hadir di pinggiran: di tengah buruh migran yang terpisah dari keluarga; di antara anak-anak yang mengalami kekerasan; bersama kaum miskin kota yang kehilangan tempat tinggal; dan dalam perjuangan rakyat kecil melawan perampasan tanah dan perusakan alam.

Sebagai Redemptoris — dan sebagai umat Kristiani pada umumnya — kita tidak hanya diundang untuk berbicara tentang harapan, tetapi menghidupinya. Kita adalah misionaris harapan: yang berjalan bersama, yang mendengarkan, yang mengangkat, yang membela.

 

VI. Harapan dalam Tindakan Kecil

Harapan bukan hanya konsep besar. Ia hidup dalam tindakan-tindakan sederhana: ketika seorang ibu tunggal diperjuangkan haknya, ketika seorang anak mendapatkan pendidikan yang layak, ketika buruh dilindungi dari eksploitasi, ketika petani tidak kehilangan lahannya, ketika lingkungan tidak dikorbankan demi keuntungan.

Harapan juga hidup dalam kejujuran para pemimpin Gereja dan awam, yang menolak korupsi dan menyuarakan kebenaran. Dalam masyarakat yang terkadang terbiasa dengan kompromi, integritas adalah bentuk pewartaan Injil yang kuat.

 

VII. Penutup: Melangkah Bersama dalam Iman dan Pengharapan

Seperti kata Paus Leo XIV, “Marilah kita melangkah bersama menuju tanah air sejati yang telah disiapkan Allah bagi kita.” Langkah ini bukanlah langkah yang sendiri-sendiri, tetapi langkah bersama — sebagai satu tubuh Kristus yang saling menopang.

Sebagai Gereja di Indonesia, mari kita menjawab panggilan zaman ini dengan keberanian, kasih, dan belaskasih. Menjadi Gereja yang tidak hanya merayakan liturgi, tetapi juga merayakan kehadiran Allah di tengah dunia. Menjadi Gereja yang tidak hanya memelihara iman, tetapi juga menumbuhkan harapan.

Dalam semangat Alfonsus, dengan inspirasi Paus Fransiskus dan Leo XIV, serta dalam terang prioritas pastoral Redemptoris, kita melanjutkan misi Kristus: menjadi kabar sukacita bagi dunia yang sedang bersedih, menjadi cahaya bagi yang berjalan dalam gelap, dan menjadi tangan kasih bagi mereka yang terjatuh.

Karena kita semua, adalah missionaris harapan — dalam jejak Sang Penebus.

 

Cijantung, 15 Mei 2025

Hallo, ada yang bisa dibantu?