Loading...
Interupsi Kemanusiaan dalam Sistem Hukum

Interupsi Kemanusiaan dalam Sistem Hukum

  • 19 Okt 2025
  • Berita

“LPSK hadir karena dulu, dalam sistem hukum kita, pelaku kejahatan lebih mendapat perhatian daripada korban.”

Kalimat lugas dari Sri Suparyati, Wakil Ketua LPSK, tersebut menjadi salah satu poin penting dalam diskusi publik bertajuk "Fenomena kekerasan: pentingnya perlindungan bagi saksi dan korban". Acara yang dihelat di Paroki St. Aloysius Gonzaga pada Sabtu, 18 Oktober 2025 itu membuka kesadaran mendasar: bahwa hukum tidak selalu berpihak pada yang lemah.

Sri Suparyati (Wakil Ketua LPSK)

Dalam ruang hukum yang lama dikuasai oleh narasi pelaku dan kekuasaan penegak hukum, kehadiran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi sebuah bentuk koreksi moral dan institusional terhadap sistem yang timpang.

Sebagai lembaga negara independen, LPSK lahir dari amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yang kemudian diperkuat melalui UU Nomor 31 Tahun 2014, untuk memberikan perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana. Keberadaannya adalah pengakuan bahwa kebenaran tidak akan pernah terungkap bila keberanian untuk bersuara tidak dilindungi.

Sri Suparyati, yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua LPSK sekaligus berlatar belakang advokat, menyadari betul risiko yang dihadapi para korban dan saksi. “Banyak korban dan saksi yang takut bersuara karena tidak ada jaminan keselamatan. Negara harus hadir,” ujarnya dengan nada tegas.

LPSK menjadi bukti konkret bahwa perlindungan terhadap korban bukan hanya kewajiban moral, tetapi mandat konstitusional. Di tengah struktur hukum yang sering berorientasi pada penghukuman pelaku, LPSK memilih berpihak pada pemulihan korban.

Fokus kerja LPSK mencakup berbagai tindak pidana prioritas, antara lain perdagangan orang, kekerasan seksual, korupsi, narkotika, penyiksaan, hingga pelanggaran HAM berat dan terorisme. “Banyak kasus kekerasan seksual justru terjadi di lingkungan pendidikan, dari sekolah hingga pesantren,” ungkap Sri, menunjukkan betapa persoalan kekerasan kini merasuk ke ruang yang semestinya aman.

Namun, peran LPSK tidak berhenti pada perlindungan fisik. Lembaga ini juga menyediakan pendampingan hukum, pemulihan psikologis, dan fasilitasi restitusi serta kompensasi. Sri menegaskan, “Pemulihan psikologis sering kali lebih penting daripada sekadar vonis bagi pelaku.”

Pendekatan ini menegaskan paradigma baru dalam hukum pidana Indonesia: bahwa keadilan tidak cukup dengan menghukum pelaku, tetapi harus memulihkan korban.

Perlindungan yang diberikan LPSK bersifat menyeluruh — dari safe house bagi korban dengan ancaman tinggi, hingga bantuan medis dan psikososial yang memungkinkan mereka kembali hidup bermartabat. Seluruh layanan tersebut gratis, dibiayai oleh APBN.

Namun, Sri menegaskan bahwa keberhasilan LPSK tak mungkin dicapai sendirian. “Kami bekerja sama dengan Kemensos, KemenPPPA, aparat penegak hukum, rumah sakit, dan dinas pendidikan,” jelasnya.

LPSK juga memperluas jangkauan lewat Sahabat Saksi Korban, relawan yang menjembatani masyarakat di pelosok. Hingga kini, lebih dari 24.000 permohonan perlindungan telah diterima, dengan kantor perwakilan di berbagai kota besar dan segera hadir di Kupang, NTT.

Di titik ini, LPSK berfungsi bukan hanya sebagai lembaga hukum, melainkan ruang empati institusional tempat negara mengekspresikan kasih dan tanggung jawab terhadap warga yang tersakiti.

Dalam diskusi yang sama, Romanus Ndau, dosen BIB Kosgoro 1957, menawarkan refleksi filosofis. Dengan gaya yang santai namun tajam, ia menelusuri akar historis kekerasan di Indonesia.

Romanus Ndau L. (Akademisi)

Mengutip jurnalis Australia Brian May, Romanus menyebut bahwa “Indonesia dilahirkan setelah sebuah penculikan, dilahirkan kembali dalam kudeta, dan dibaptis dengan darah pembantaian.” Ia menambahkan, “Bangsa ini lahir dari luka-luka, tapi sering lupa merawatnya.”

Sejarah panjang kekerasan, dari tragedi 1965 hingga kerusuhan Mei 1998, menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap warga. Dalam konteks itu, LPSK hadir bukan sekadar lembaga administratif, melainkan penebusan historis atas abainya negara terhadap korban kekerasan politik dan sosial.

Romanus menyoroti pula kekerasan struktural yang berakar dalam sistem politik dan ekonomi. “Satu persen orang Indonesia menguasai 49 persen kekayaan negeri ini,” ujarnya, mengutip buku Paradoks Indonesia karya Prabowo Subianto. Bagi Romanus, ketimpangan ini melahirkan kekerasan baru yang tidak selalu bersenjata, tetapi menindas lewat kemiskinan, ketakutan, dan ketidakadilan.

Kritik Romanus bukan sekadar pada struktur kekuasaan, melainkan pada etika politik itu sendiri. Ia mengutip Paus Fransiskus tentang “cinta kasih politik”, cinta yang memperjuangkan kebaikan bersama. “LPSK adalah bentuk politik kasih itu,” tegasnya.

Menurutnya, LPSK menjadi “interupsi kekuasaan”, tempat di mana logika dominasi digantikan oleh logika kemanusiaan. LPSK, dalam pandangannya, memihak pada “yang paling kecil, paling rendah, paling terakhir, dan paling tersesat — the smallest, the lowest, the last, and the lost,” mengutip Mahatma Gandhi.

Dalam politik yang kian transaksional, LPSK berdiri sebagai bukti bahwa negara masih bisa mencintai warganya melalui perlindungan dan empati. Romanus menutup refleksinya dengan kalimat yang menggugah:

“LPSK bukan sekadar pelindung saksi dan korban, tetapi pelindung nurani bangsa.”

Kehadiran LPSK menandai babak baru dalam perjalanan hukum dan politik Indonesia: bahwa perlindungan bukanlah belas kasihan, melainkan hak. Dalam praktiknya, lembaga ini menjadi titik temu antara hukum, moralitas, dan kemanusiaan.

Dari perspektif akademik, LPSK adalah contoh bagaimana institusi negara bisa bertransformasi menjadi ruang etis, bukan sekadar birokrasi. Ia membuktikan bahwa keadilan bisa menjadi praktik kasih bukan hanya keputusan hukum.

Dan seperti ditegaskan oleh Sri Suparyati dan Romanus Ndau, melindungi korban bukan hanya soal penegakan hukum, melainkan tentang memulihkan martabat manusia. Dalam arti itu, LPSK berdiri bukan hanya sebagai lembaga, melainkan sebagai simbol keberanian negara untuk mencintai rakyatnya.

 

Penulis: Mercurius Tomy (OMK Wilayah VI)

Hallo, ada yang bisa dibantu?