I/ Oktober
Gereja Algonz, Jumat 31, petang menuju gelap, di epilog Oktober. Hujan jatuh mempercepat kelam, menikam. Lebat, hampir tak bertepi dan berhenti. Barangkali memang demikianlah sifat dasar hujan: terkadang mengagumkan, terkadang pula mencemaskan.
Ketika hujan menebal di atas kepala, dalam banyak situasi dan posisi, kita kadang suka membentuk ilusi. Bahwa pada tenggang waktu itu—ketika hujan turun—kita seharusnya masih bisa mengistirahatkan mata, mendengar bunyi air yang menekan genteng rumah, melihat genang air, mengelus tubuh kekasih, mencium rambutnya, bermain, dan/atau perihal—perihal menyenangkan lainnya.
Tapi hari ini kita semua berhasil menanggalkan ilusi-ilusi itu. Sebaliknya, kita justru terus bergegas, memakai payung, melangkah, berlari-lari, berkendara, melipir, menuju gereja. Dan di bawah atap gereja, berteduhlah kita, berpakaian putih biru, terkumpul dalam barisan rapi, memegang potret-potret Maria, siap berarak ke dalam Gereja.
Hari ini: kita mengakhiri seluruh rangkaian devosi bulan rosario kita. Oktober: bulan yang penuh hangat kopi dan seruan Ave Maria. Tentu, tak pula berarti bahwa doa dan devosi kita kepada Maria telah selesai. Kita hanya sedang menamatkan ceremony, tradisi dan kebiasaan bersama sebagai satu komunitas. Tapi kesakralan hubungan kita dengan Maria, harus terus terjaga. “Kita mesti terus menaruh bunga—bunga doa kepada Bunda Maria. Sebab, Ia tak pernah hidup dalam penanggalan masa waktu, bulan dan tanggal. Maria bukan satu tumpukan angka. Ia entitas yang suci, tinggi, kudus. Ia ada dan hidup dalam doa, keluh, dan permohonan kita. Jiwanya penuh rahmat.” Itu satu pesan pendek dari ekaristi hari ini.
Hari ini: kalendar dan kita melepaspergikan satu penanggalan: Oktober. Ia sudah jadi adverbia, ia telah lampau. Ia berubah rupa menjadi satu fungsi baru: sebagai keterangan akan sesuatu yang telah lewat dan menetap di masa lalu. Oktober telah jadi cerita, pertimbangan, atau ukuran baru bagi periode hidup kita pada tempo waktu mendatang.
Juga di sisi lain, Oktober melahirkan paradoks. Ia tidak mapan menahan ketakpastian: hujan, situasi, rindu atau bahkan banjir. Meskipun demikian, ia justru ingin jadi penanda, bahwa kita mesti tabah atas posisi langit yang tak tentu. Atau barangkali, Oktober beserta hujan dan perkara kecil lainnya, jangan-jangan, ingin berpesan bahwa masa depanlah yang lebih perlu untuk ditatap.
Oktober tahun ini sudah habis, usai. Ia telah jadi satu peninggalan yang mengembara. Tibalah ia pada satu titik: meninggalkan nama dan melepas jejak. Namun, cerita panjang dan hal—hal kecil yang perlu dikenang tentu masih ada, bahkan terus bersambung. Tinggal bagaimana cara kita menyimpannya dalam lemari kehidupan masing-masing.
Hujan, Rosario, Maria, singkong rebus, kopi hangat, dan sambal bikinan ibu: itulah sinopsis singkat Oktober yang telah berlalu. Mari kita mengenangnya dengan cara dan jarak yang berbeda.
II/ Ikon
Lukisan itu ada dalam kanvas: seorang perempuan, berselubung sutra petang dalam nuansa keemasan, memegang bayi Yesus pada satu gendongan tangannya, tak ada keringat, gerak atau kepedihan. Ia tersenyum sopan, terapit dua malaikat agung, yang memegang simbol kesengsaraan putra—Nya. Kanvas itu adalah ikon. Ia memenuhi ruang-ruang rumah dan Oktober kita. Ia— perempuan yang ada dalam ikon itu—adalah Maria, Bunda yang Selalu Menolong.
Sekitar enam/tujuh abad yang lalu, di Pulau Kreta Yunani, lukisan ini lahir. Menurut banyak sejarawan seni, gambar tersebut dilukis oleh pelukis terkemuka dari sekolah seni Kreta. Namanya: Andreas Rizo de Candia (1421–1492). Ia juga menciptakan beberapa karya yang sangat mirip dengan ikon ini, dan banyak di antaranya untuk keperluan ekspor ke Italia.
Sebuah kisah kemudian muncul, bahwa gambar tersebut awalnya dicuri dari Lasithi, Kreta, oleh seorang pedagang Romawi. Sampai sekarang, namanya tak pernah dipastikan. Narasi ini dipublikasikan oleh Pastor Concezio di Carroci, seorang imam dari kongregasi Jesuit. Beberapa purnama kemudian, akhirnya riwayat ini dipopulerkan oleh satu kejadian sensasional, yaitu penampakan Bunda Maria kepada seorang gadis muda, yang kemudian dikaitkan dengan pemindahan ikon suci ini ke Gereja San Matteo di Via Merulana.
Lalu, pada 1798 di era kejayaan Napoleon Bonaparte terjadilah peperangan. Gereja tempat disimpannya ikon ini pun hancur. Syahdan, ikon yang berukuran 45 cm x 53 cm ini ditemukan 70 tahun kemudian di antara puing-puing reruntuhan gereja. Lalu pada 11 Desember 1865 Paus Pius IX memberikan mandat kepada Kongregasi Redemptorist (CSsR) untuk memperkenalkan sang ikon ke seluruh dunia.
Sejak 26 April 1866 ikon ini ditempatkan di Gereja Alphonsus Liguori, Roma Italia. Beberapa masa setelah itu, Paus Paulus VI menegaskan bahwa pemberian nama Bunda Selalu Menolong sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II karena menekankan pengasuhan Bunda Maria terhadap Gereja yang masih terus berjuang di dunia.
Beberapa abad setelah itu, di masa kini, Waktu Indonesia bagian Jakarta: ikon ini tiba di gereja Cijantung. Dan dalam pembabakan sejarah masing-masing persona: kita telah menjadi lakon utamanya. Bahkan dunia, sejarah, dan udara tak dapat menyangkal kebenaran ini.
III/ OMK
Oktober ini pun menjadi bulan yang istimewa bagi OMK paroki Cijantung. Pertimbangannya: OMK telah diberi mandat khusus: menjadi laskar ikon Our Lady of Perpetual Help ini. Lantas, Rosario dan Oktober kali ini memang sedikit berbeda. Kita telah kedatangan satu ikon: Maria Bunda Selalu Menolong.
Ketika awalnya diberikan keistimewaan ini, OMK paroki Cijantung pun siap sedia dengan keutuhan niat yang penuh. Kita seperti merasakan bahwa hidup sedang memberi hormat kepada kita. Dan bersama-sama, kita telah merayakannya dengan gerak gegas dan perjalanan. Doa dan ibadat. Berkunjung dan mengunjungi. Menebarkan Maria sebagai Ibunda semua umat. Pun, dari atas sana—saya yakin—Tuhan sudah menyertai kita dengan sendirinya, tanpa mendominasi lalulintas.
Oktober ini, setelah melalui sejarah yang panjang, ikon ini tiba di Cijantung. Di rumah-rumah kita. Mari mengajaknya untuk menetap lebih lama lagi, atau bahkan selamanya. Jangan sampai Jakarta dan perkara kecil lainnya menahan kita untuk terus bersatu dengan Maria. Jakarta memang punya sejarah yang panjang dan nostalgia—nya sendiri. Ia pandai bergerak cepat. Pada saat yang sama kian sedikit penghuni yang memandang ikon Maria sebagai bagian dari riwayat hidup.
Di Jakarta, generasi manusia, gedung dan peta berganti berkali-kali. Lebih cepat ketimbang suasana hati. Tapi, kita sebagai laskar-laskar muda—yang pinggangnya masih utuh ini—terus berjalan pada tapak yang tepat. Mari kita mengikuti Maria sebagai pemberitahu jejak dan jalan. Dalam pertimbangan yang terukur, itu memang satu perkara yang sangat lumayan, dan barangkali dari sana tak ada pula jalan turunnya. Namun, selama di udara dingin masih mengaum sejarah, mari kita ciptakan nostalgia yang elok bersama Maria dengan cara yang tepat, original dan devotif.
Selamat menikmati sisa-sisa kehidupan. Teruslah peduli kepada orang lain—sesama. Jangan sampai kita bisu dalam tindak laku. Sebab alangkah susahnya mempelajari grammatika bisu pada zaman ini. Mari, teruslah berjaya, Orang-orang Muda Katolik, Cijantung. Karena pada ukuran yang paling dasar, kita adalah solusi.