Gladi Rohani Putra Altar Cijantung
MENUMBUHKAN IMAN , KARAKTER DAN TANGGUNGJAWAB
Pagi itu, Kamis 19 Desember, hari masih muda ketika halaman sekolah Slamet Riyadi sudah mulai ramai. Anak-anak putra–putri altar datang dengan tas besar di punggung, wajah setengah mengantuk tapi mata berbinar. Ada yang bolak-balik mengecek tas, ada yang sibuk mencari kaus, ada juga yang sudah siap sambil bercanda dengan teman. Suasananya ramai, tapi hangat—tanda sebuah perjalanan kecil akan segera dimulai.
Tujuan kami adalah Casa De La Vita, rumah retret yang tenang di kaki Gunung Salak. Sekitar 70-an putra–putri altar berangkat bersama, didampingi para frater, pembina, pendamping, dan dua perawat yang setia mengawal dari awal. Hujan turun pelan sepanjang jalan, kabut tipis menyelimuti tol, tapi perjalanan terasa aman dan damai. Mungkin karena semua tahu: ini bukan sekadar jalan-jalan, tapi waktu untuk berhenti sejenak dan mendengar suara hati.
.jpg)
.jpg)
Sesampainya di lokasi, udara dingin langsung menyapa. Rumah retretnya sederhana tapi nyaman—pas sekali untuk menepi dari hiruk-pikuk kota. Setelah orientasi dan kesepakatan bersama (termasuk soal HP yang bikin senyum-senyum kecil), anak-anak mulai masuk ke ritme retret.
Retret ini dipandu oleh Romo Willy CSsR, Frater Andre SJ dan Frater Didit SJ.
Sesi pertama membuka satu pertanyaan penting:?“Sebenarnya, siapa yang memanggil saya menjadi putra altar?”?Bukan soal tugas atau jadwal misa, tapi soal panggilan. Pelan-pelan anak-anak diajak menyadari bahwa Tuhan tidak menuntut kita jadi sempurna. Yang Tuhan cari hanyalah hati yang siap. Dan dari situlah segalanya dimulai.
Sore dan malam hari diisi dengan cerita tentang Santo Tarsisius, anak muda pemberani yang setia menjaga Ekaristi sampai akhir. Dari sana muncul refleksi-refleksi jujur dan sederhana. Ada yang bilang ingin belajar setia, ada yang sadar bahwa melayani Tuhan butuh pengorbanan, bukan cuma seragam rapi. Malam pertama ditutup dengan keheningan—menyadari kekurangan diri, mensyukuri hari, dan menuliskan niat kecil untuk esok.
Hari kedua dimulai jauh sebelum matahari terbit. Jam empat pagi, pintu kamar sudah “disapa” dengan penuh semangat. Mata masih berat, tapi hari harus berjalan. Anak-anak diajak mengalami dinamika lima rasa: tawar, asam, manis, pahit, dan campur. Sederhana, tapi mengena. Hidup dan pelayanan memang tidak selalu manis. Kadang hambar, kadang pahit, tapi semuanya membentuk.
Sesi pembinaan pagi menegaskan satu hal: menjadi misdinar itu rahmat dan tanggung jawab. Bukan cuma hadir di altar, tapi belajar disiplin, setia, dan bertanggung jawab. Ada tawa ketika contoh-contoh lucu dilontarkan, tapi juga ada keheningan ketika masing-masing mulai bercermin pada diri sendiri.
Sore harinya, suasana berubah riuh. Outbond dimulai. Games, teriakan, tawa, dan hujan gerimis bercampur jadi satu. Anak-anak berlari, jatuh, bangkit, saling menyemangati. Di situ terlihat karakter asli: ada yang sabar, ada yang emosional, ada yang jadi penguat kelompok. Permainan ternyata bukan sekadar main—di sanalah proses pembinaan berjalan dengan jujur.
Malamnya, suasana kembali tenang. Ada diskusi tentang kepemimpinan, visi, dan tanggung jawab mengelola pelayanan altar sepanjang tahun. Dipilihlah pengurus baru. Hari ditutup dengan ibadat malam, lagu Taizé, dan doa yang pelan tapi dalam.
Hari ketiga datang dengan wajah yang lebih cerah. Hujan malam sebelumnya membuat pagi terasa segar. Setelah doa pagi dan sarapan, sesi terakhir menjadi ruang merangkum segalanya. Anak-anak diingatkan: mereka dipanggil bukan karena hebat, tapi karena dipercaya dan dicintai. Pelayanan tidak berhenti di altar, tapi diteruskan di rumah, sekolah, dan kehidupan sehari-hari.
Retret ditutup dengan misa penutupan, foto bersama, tawa terakhir, dan cerita-cerita kecil sambil menunggu kendaraan pulang. Ketika truk akhirnya datang, semua berkumpul, berdoa, dan pulang membawa sesuatu yang tak terlihat, tapi terasa: hati yang disentuh, niat yang diperbarui, dan langkah kecil untuk menjadi lebih setia.
Ini memang hanya tiga hari. Tapi semoga bukan sekadar kenangan.
Semoga menjadi awal dari pelayanan yang dijalani dengan hati.

.jpg)