Selasa sore, 16 Desember 2025, aula lantai satu Paroki Cijantung menjadi ruang perjumpaan yang sederhana namun hangat. Komunitas Alfonsian berkumpul untuk misa dan refleksi Adven sebagai persiapan menyambut Natal. Tidak banyak yang hadir, tetapi justru dalam kesederhanaan itulah suasana terasa akrab dan penuh makna. Kami memulainya dengan duduk bersama, saling menyapa, ngobrol ringan—seperti keluarga yang pulang ke rumah yang sama.
Perayaan Ekaristi kemudian menjadi pusat pertemuan kami. Misa dipimpin oleh Pater Willy, yang juga mengajak kami masuk ke dalam refleksi Adven dengan tema yang sangat khas Redemptoris: **Palungan, Salib, dan Sakramen (Ekaristi dan Tobat) sebagai jantung spiritualitas Redemptoris**.
Dalam refleksi itu, kami diajak kembali pada keyakinan dasar Santo Alfonsus: Allah yang kita imani bukanlah Allah yang jauh dan menghukum, melainkan Allah yang berbelas kasih dan memilih untuk dekat dengan manusia.
Palungan berbicara tentang Allah yang merendahkan diri. Allah yang hadir sebagai bayi kecil, rapuh, dan bisa didekati. Allah yang tidak menakutkan, tetapi justru mengundang manusia untuk mendekat. Inilah Allah yang ingin tinggal bersama manusia, bukan menguasai dari kejauhan.
Salib, di sisi lain, memperlihatkan Allah yang terluka. Dalam Yesus yang tersalib, kita melihat Allah yang tidak lari dari penderitaan manusia. Ia setia, bukan hanya dalam hal-hal yang indah, tetapi juga dalam luka, kegagalan, dan salib kehidupan. Komitmen Allah adalah komitmen yang total—mencakup seluruh realitas hidup manusia, suka dan duka.
Lalu sakramen—Ekaristi dan Rekonsiliasi—menjadi tanda bahwa kehadiran Allah tidak berhenti pada peristiwa Natal atau salib semata. Allah yang sama terus menyertai umat-Nya. Dalam Ekaristi, Ia tetap tinggal dan memberi kekuatan. Dalam sakramen tobat, Ia selalu membuka pintu penerimaan dan pengampunan. Bagi spiritualitas Redemptoris, kedua sakramen ini adalah wajah konkret dari Allah yang setia dan berbelas kasih.
Inilah makna Natal yang sejati: iman yang turun ke tanah, iman yang menyentuh luka, dan iman yang berjalan bersama manusia. Spiritualitas Santo Alfonsus tidak pernah lari dari kenyataan hidup. Ia hadir dengan harapan—di tengah kecemasan, kelelahan, dan luka batin dunia.
Refleksi Adven ini kembali menegaskan bahwa palungan, salib, dan sakramen tetap sangat relevan hari ini. Iman tidak boleh berhenti pada ide atau ritual. Iman harus masuk ke rumah-rumah, ke desa-desa, dan ke ruang batin manusia. Belas kasih harus benar-benar “mendarat”, menjadi nyata dalam sikap, pelayanan, dan pendampingan.
Inilah yang menggerakkan Santo Alfonsus dan keluarga Redemptoris: berkhotbah dengan sederhana, menulis dengan hati, mendengarkan dengan sabar, dan menemani dengan setia. Karena di balik ketakutan manusia, selalu ada kerinduan akan Allah yang penuh kasih—dan di sanalah Gereja dipanggil untuk membantu menyingkapkan kembali wajah Allah itu.
Setelah Ekaristi dan refleksi, pertemuan dilanjutkan dengan sharing dari hasil Midsexennium di Vietnam dan beberapa pengalaman lainnya. Suasana tetap cair dan penuh rasa syukur. Kami menutup kebersamaan itu dengan menikmati apa yang ada, lalu bersama-sama memuji Maria dengan doa Salam Maria sebelum pulang.
Komunitas Alfonsian pun melangkah pulang dengan hati yang diteguhkan. Sebuah pengingat sederhana namun mendalam: Allah selalu lebih dekat daripada yang kita bayangkan, dan rahmat-Nya selalu lebih besar daripada ketakutan kita.
Sebagai kelanjutan dari semangat ini, komunitas merencanakan perayaan Natal bersama pada 17 Januari mendatang—mengikuti Misa bersama di gereja, lalu melanjutkannya dengan rekreasi dan berbagi kegembiraan Natal.
Demikianlah yang kami alami pada 16 Desember itu: sebuah perjumpaan kecil, iman yang dibumikan, dan belas kasih yang terus berdetak di jantung spiritualitas Redemptoris.