CIJANTUNG, JAKARTA – Sabtu pagi, 13 Desember 2025. Di lantai tiga Gedung Karya Pastoral St. Alfonsus, suasana yang biasanya hening oleh kegiatan rohani berganti menjadi riuh rendah diskusi kenegaraan.
Ratusan pasang mata—mulai dari umat lingkungan, Ketua RT/RW setempat, hingga biarawan—tertuju ke panggung depan. Bukan untuk mendengarkan khotbah minggu, melainkan untuk membedah konstitusi.
Gereja Katolik St. Aloysius Gonzaga Paroki Cijantung, melalui Seksi Keadilan dan Perdamaian (SKP), mengambil langkah berani. Mereka menggandeng Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggelar Dialog Kebangsaan bertajuk “Hakikat dan Transparansi Hukum sebagai Inti Keadilan”.
Sebuah perjumpaan yang tidak lazim, namun menjadi sangat krusial di tengah tahun-tahun di mana hukum sering kali dirasa berjarak dari rasa keadilan rakyat.
"Bagi saya, ini kesempatan saudara untuk belajar bersama," suara RP Robertus Ndjang, CSsR, menggema di ruangan. Romo Robby, sapaan akrab Pastor Kepala Paroki itu, tidak ingin umatnya hanya saleh di altar.
Dalam sambutannya yang menohok, ia meruntuhkan tembok pemisah antara 'ruang sakral' dan 'ruang publik'. "Sebagai orang beragama, tugas kita tidak hanya terbatas pada ibadah dan doa semata," tegasnya.

Baginya, ketidaktahuan akan hukum adalah celah bagi ketidakadilan. Gereja hadir bukan hanya untuk membasuh jiwa, tetapi juga untuk mencerdaskan logika warganya agar mampu "bersuara secara bertanggung jawab" kepada negara.
Pernyataan Romo Robby seolah menjadi legitimasi moral bagi acara ini. Bahwa memperjuangkan keadilan hukum adalah bagian tak terpisahkan dari iman.
Moderator acara, Valentinus Jandut, membuka diskusi dengan realitas yang getir. Ia memotret kondisi di mana masyarakat adat di pelosok Nusantara sering kali terusir dari tanah leluhur karena stempel "kawasan hutan" yang ditetapkan sepihak oleh negara. "Banyak hal harus kita perjuangkan dan rebut," ujar Valentinus, memantik semangat peserta.
Namun, perjuangan itu terhalang oleh apa yang disebut Romanus Ndau sebagai mentalitas "SDM". Bukan Sumber Daya Manusia, melainkan sindiran tajam: Selamatkan Diri Masing-masing.
Romanus, mantan Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP), tampil berapi-api. Ia menyoroti fenomena sosial di mana masyarakat cenderung apatis. "Kalau ada ketidakadilan, yang penting jangan di rumah saya. Kalau di rumah tetangga, biarin saja," sindirnya yang disambut tawa getir hadirin.

Bagi Romanus, transparansi adalah "oksigen demokrasi". Mengutip Thomas Jefferson, ia mengingatkan bahwa informasi adalah kekuasaan (power). Di era post-truth atau pasca-kebenaran, di mana kebohongan yang diulang-ulang bisa dianggap kebenaran, masyarakat yang buta informasi adalah mangsa empuk manipulasi.
"Kekuasaan itu korup karena kita diam," ucap Romanus. Ia mengajak peserta untuk berhenti menjadi penonton yang pasif. Baginya, demokrasi membutuhkan warga negara yang 'berisik'—yang berani bertanya, menagih data, dan mengawasi kebijakan publik.
Jika Romanus berbicara tentang semangat transparansi, Dr. Fajar Laksono, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, membawa peserta menyelami dapur pacu hukum itu sendiri. Dengan gaya bertutur yang memikat, ia menjelaskan betapa sulitnya posisi seorang hakim.
Fajar mengupas teori Gustav Radbruch tentang tiga tujuan hukum: Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan. "Idealnya putusan hakim harus adil, pasti, dan bermanfaat. Tapi di lapangan, tiga hal ini sering saling sikut," jelasnya. Mengejar kepastian teks undang-undang bisa melukai rasa keadilan; mengejar keadilan subjektif bisa merusak kepastian hukum.
Di sinilah peran Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir akhir (the final interpreter). Fajar membawa imajinasi peserta mundur ke Amerika Serikat tahun 1803, menceritakan kisah dramatis Marbury v. Madison dan "Midnight Judges" (Hakim Tengah Malam). Sebuah momen sejarah di mana Mahkamah Agung AS untuk pertama kalinya berani membatalkan Undang-Undang karena bertentangan dengan Konstitusi.
.jpg)
"Itulah fitrah Judicial Review," tegas Fajar. "Konstitusi adalah hukum tertinggi. Jika ada Undang-Undang—produk politik DPR dan Presiden—yang melanggar hak konstitusional rakyat, MK berwenang membatalkannya."
Penjelasan Fajar menjadi pencerahan bagi banyak peserta yang selama ini bingung membedakan fungsi Mahkamah Agung (MA) dan MK. Ia memberikan panduan praktis: jika ingin menggugat Perda atau Perpres, pergilah ke MA. Namun, jika Undang-Undang yang menjadi masalah, MK adalah pintunya.
Diskusi yang berlangsung hingga siang hari itu bukan sekadar transfer pengetahuan. Ia adalah sebuah terapi sosial. Di tengah skeptisisme publik terhadap lembaga negara, kehadiran pejabat MK yang bersedia duduk berdialog di aula gereja memberikan secercah harapan.
Romanus Ndau menutup sesinya dengan mengutip pemikir Nurcholish Madjid: "Demokrasi itu memang berisik." Dan di Cijantung hari itu, "kebisingan" itu terdengar merdu. Kebisingan dari warga yang ingin tahu, dari rohaniwan yang peduli, dan dari pejabat yang mau mendengar.
Acara ini membuktikan bahwa merawat Indonesia bisa dimulai dari ruang-ruang sederhana, di mana nalar publik diasah dan semangat kebangsaan dirajut kembali, satu pasal demi satu pasal.
Warga Cijantung pulang tidak hanya dengan membawa berkat rohani, tetapi juga dengan amunisi baru: pemahaman bahwa hukum bukan untuk ditakuti, melainkan alat untuk memastikan keadilan tetap tegak di bumi pertiwi.
Penulis: Tomi (OMK Wilayah VI)